Bocah-Bocah di Pagar

BOCAH-BOCAH DI PAGAR
Pengarang: Yuli Anita Bezari

Terbit: Bandung, DAR! Mizan, Februari 2007, 152 halaman
ISBN 978-979-752-658-0
Jenis: Novel anak

Salah satu tekanan pada anak sekolah adalah nilai pelajaran. Yang belum bagus dituntut memperbaiki, sedang yang sudah bagus diharapkan lebih bagus lagi, atau setidaknya mempertahankan. Kadang isu ini tidak terkait masalah hadiah atau hukuman dari orang tua, tapi yang lebih sering adalah pandangan-pandangan orang di sekeliling yang tanpa sadar memberi tekanan pada anak, misal sesama teman "Nilai ulangan kamu berapa? Aku seratus," atau dari guru, "Kok nilainya turun?" atau dari orang tua, "Kok sepuluh besar aja nggak masuk?" Kadang ada murid yang akhirnya cuek dan bersikap seadanya, ada juga yang berusaha dengan sekuat tenaga. Yang jadi masalah, kalau ia menghalalkan segala cara untuk mengejar nilai tersebut.

Kemala anak pintar yang selalu mendapat peringkat juara di kelas. Tapi ia tidak mau berbagi ilmu dengan teman karena takut disaingi. Ia juga memasang tembok kotak pensil di meja karena khawatir teman sebangkunya mencontek. Suatu hari ia menyembunyikan buku perpustakaan dan teman-temannya tidak bisa mengerjakan PR karangan, sedangkan ia mengerjakan karangan yang terbaik. Ketika teman-temannya tahu, mereka marah sehingga Kemala tidak diterima di kelompok manapun untuk tugas selanjutnya. Dalam kesendiriannya tersebut Kemala berinteraksi dengan tiga anak kecil di balik pagar rumahnya, dan akhirnya menyadari bahwa ilmu itu bukan untuk disimpan sendiri tapi untuk dibagi.

Ok, pesan ini disampaikan dengan cara yang bagus. Penulis menggunakan simbol kotak pensil yang ditegakkan antara Kemala dan teman sebangku sebagai "tembok" dalam diri Kemala. Ketika kotak pensil ini jatuh terhempas dan rusak, Kemala tidak marah pada teman yang telah menyenggolnya. Ini sekaligus menunjukkan bahwa Kemala sudah berubah di dalam. Yang saya rasa agak dipaksakan adalah objek fisik lain yaitu pohon mangga di halaman Kemala. Pohon ini selalu menggugurkan daun kering sepanjang waktu sehingga membuat jengkel Kemala, tapi ayahnya tidak mau menebang pohon itu. Kata Ayah, Kemala harus mencontoh pohon itu, dan sepanjang cerita Kemala menebak-nebak apa maksud ayahnya. Di samping analogi yang kurang pas, sepintas kesannya si tokoh Ayah jadi seperti tokoh misterius serba tahu yang tugasnya dalam cerita hanyalah memberikan ungkapan-ungkapan yang juga misterius. Entahlah, tapi in cuma pendapat pribadi.

Bab pertama berjudul Tembok Mini, sebanyak 3 lembar termasuk ilustrasi. Menurut saya harusnya bab itu dipangkas dan isinya diselipkan di bab selanjutnya, karena bab satu ini cuma penjelasan, penjelasan, dan penjelasan. Memang pengarang berupaya menulis dengan lincah, tapi khawatirnya ada pembaca kecil yang melihatnya sudah malas, padahal bagian selanjutnya menarik.

Tokoh Kemala mudah dipahami mengenai ambisinya ingin selalu mendapat nilai terbaik. Peresensi juga pernah waktu kecil harus mengajari orang dengan terpaksa, dan berlaku [agak] judes seperti Kemala. Cuma, separuh awal buku, saya masih ragu-ragu untuk menyukai tokoh ini. Seandainya ditunjukkan sedikit saja sesuatu yang bisa disukai dari Kemala, walaupun ia bersikap jahat dalam hal lain. Dan satu lagi, seandainya saja ada salah ilustrasi yang menunjukkan bentuk sayur yang harus dicari Kemala, yaitu bunga turi, gabah, daun dan biji melinjo (terutama bunga turi). Soalnya mungkin banyak pembaca seperti ibu Kemala yang tidak tahu bentuk bunga turi. Tapi peresensi yang satu ini kebanyakan permintaan. Ayo carikan buku ini untuk Anda sendiri atau untuk putra-putri Anda.

0 comments:

Newer Post Older Post Home